Rabu, 19 November 2014

aliran progresifisme

Progresivisme Aliran filsafat dalam Proses Belajar dan Pendidikan
1.      Pandangan Secara Ontologi
Pandangan ontologi progresivisme bertumpu pada tiga hal yakni asas hereby (asas keduniaan), pengalaman sebagai realita dan pikiran (mind) sebagai fungsi manusia yang unik. Ontologi Progresivisme adalah sebagai berikut:
a.       Asas Hereby ialah adanya kehidupan realita yang amat luas tidak terbatas sebab kenyataan alam semesta adalah kenyataan dalam kehidupan manusia.
b.      Pengalaman adalah kunci pengertian manusia atas segala sesuatu. Manusia punya potensi pikiran (mind) yang berperan dalam pengalaman. Eksistensi dan realita mind hanyalah di dalam aktivitas, dalam tingkah laku. John Dewey mengatakan, pengalaman adalah key concept manusia atas segala sesuatu. Pengalaman ialah suatu realita yang telah meresap dan membina pribadi. Pengalaman menurut Progresivisme:
1.      Dinamis, hidup selalu dinamis, menuntut adaptasi, dan readaptasi dalam semua variasi perubahan terus menerus.
2.      Temporal (perubahan dari waktu ke waktu);
3.      Spatial yakni terjadi disuatu tempat tertentu dalam lingkungan hidup manusia;
4.      Pluralistis yakni terjadi seluas adanya hubungan dan antraksi dalam mana individu terlibat. Demikian pula subyek yang mengalami pengalaman itu, menangkapnya, dengan seluruh kepribadiannya degnan rasa, karsa, pikir dan pancainderanya. Sehingga pengalaman itu bersifat pluralistis.
c.       Pikiran (mind) sebagai fungsi manusia yang unik. Manusia hidup karena fungsi-fungsi jiwa yang ia miliki. Potensi intelegensi ini meliputi kemampuan mengingat, imaginasi, menghubung-hubungkan, merumuskan, melambangkan dan memecahkan masalah serta komunikasi dengan sesamanya. Mind ini ialah integrasi di dalam kepribadian, bukan suatu entity (kesatuan lahir) sendiri. Eksistensi dan realita mind hanyalah di dalam aktivitas. Mind adalah apa yang manusia lakukan. Mind pada prinsipnya adalah berperan di dalam pengalaman.
Tokoh-tokoh Progresivisme
1.             William James (11 Januari 1842 – 26 Agustus 1910)
James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik, harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk membebaskan ilmu jiwa dari prakonsepsi teologis, dan menempatkannya di atas dasar ilmu perilaku.
2.             John Dewey (1859 – 1952)
John Dewey dalam mengemukakan teorinya berangkat dari filsafat pragmatisme yang diukur dengan setandar rasional. Teori Dewey tentang sekolah adalah “Progressivism” yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah “Child Centered Curiculum”, dan “Child Centered School”. Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas
3.             Hans Vaihinger (1852 – 1933)
Hans VaihingerMenurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis. Persesuaian dengan obyeknya tidak mungkin dibuktikan; satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya (dalam bahasa Yunani Pragma) untuk mempengaruhi kejadian-kejadian di dunia. Segala pengertian itu sebenarnya buatan semata-mata. Jika pengertian itu berguna. untuk menguasai dunia, bolehlah dianggap benar, asal orang tahu saja bahwa kebenaran ini tidak lain kecuali kekeliruan yang berguna saja.
2.      Pandangan Secara Epistimologi
Pandangan epistimologi progresivisme ialah bahwa pengetahuan itu informasi, fakta, hukum, prinsip, proses, dan kebiasaan yang terakumulasi dalam pribadi sebagai proses interaksi dan pengalaman. Pengetahuan diperoleh manusia baik secara langsung melalui pengalaman dan kontak dengan segala realita dalam lingkungan, ataupun pengetahuan diperoleh langsung melalui catatan-catatan. Pengetahuan adalah hasil aktivitas tertentu. Makin sering kita menghadapi tuntutan lingkungan dan makin banyak pengalaman kita dalam praktik, maka makin besar persiapan kita menghadapi tuntutan masa depan. Pengetahuan harus disesuaikan dan dimodifikasi dengan realita baru di dalam lingkungan.
Ada tiga hal yang dibicarakan dalam Epistimologi Filsafat yaitu : objek filsafat (yang dipikirkan), cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran pengetahuan filsafat.
1.      Objek Filsafat
Tujuan berfilsafat adalah menemukan kebenaran yang sebenarnya, yang terdalam. Susunan hasil pemikiran disebut Sistematika Filsafat atau Struktur Filsafat yang terdiri atas ontologi, epistimologi, dan aksiologi.  Isi setiap cabang filsafat ditentukan oleh objek apa yang diteliti (dipikirkan). Jika memikirkan pendidikan, jadilah filsafat pendidikan, dan seterusnya. Objek penelitian filsafat lebih luas dari objek penelitian sain sebab filsafat meneliti objek yang Ada dan mungkin ada.
2.      Cara Memperoleh Pengetahuan Filsafat
Berfilsafat ialah berfirkir, dan berfikir itu menggunakan akal. Dari sini timbul  masalah apa itu   “ akal “ .  Akal ini diperdebatkan oleh ahli akal (Locke,Voltaire, Will Durant,David Hume,dan sebagainya dan orang –orang yang secara intesif mengunakan akalnya.Untuk itu mereka menerima bahwa “bahwa akal itu ada”, dan ia bekerja berdasarkan suatu cara yang tidak begitu kita kenal. Aturan kerjanyadisebut “ logika “. Sejauh akal itu bekerja menurut aturan logika, agaknya kita dapat menerima kebenarannya. Kerja akal yaitu berfikir mendalam, menghasilkan filsafat.
3.      Ukuran Kebenaran Pengetahuan Filsafat
Pengetahuan filsafat merupakan  pengetahuan yang logis. Ukuran kebenaran filsafat ialah logis tidaknya pengetahuan itu. Bila logis benar, bila tidak logis, salah. Ukuran logis tidaknya terlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan (teori). Argumen  menjadi kesatuan dengan konklusi, dan konklusi ini disebut teori filsafat. Bobot teori filsa fat terletak pada kekuatan argumen, maka diterima pendapat yang mengatakan bahwa filsafat itu argumen. Kebenaran konklusi ditentukan 100% oleh argumen
3.      Pandangan Secara Aksiologi
Dalam pandangan progresivisme di bidang aksiologi ialah nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, dengan demikian menjadi mungkin adanya saling hubungan. Jadi masyarakat menjadi wadah timbulnya nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, kecerdasan dari individu-individu. Nilai itu benar atau tidak benar, baik atau buruk apabila menunjukkan persesuaian dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan.
Pandangan pendidikan progresivisme menghendaki yang progresif. Tujuan pendidikan hendaklah diartikan sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus. Pendidikan hendaklah bukan hanya menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik untuk diterima saja, melainkan yang lebih penting daripada itu adalah melatih kemampuan berpikir dengan memberikan stimuli-stimuli.
Pandangan Progresivisme Dalam Proses Belajar
Filsafat progressivisme meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada peserta didik. Anak didik diberikan kebebasan secara fisik maupun cara berfikir, guna mengembangakan bakat, kreatifitas dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu filsafat progressivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab, pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai pribadi-pribadi yang gembira menghadapi pelajaran, sekaligus mematikan daya kreasi baik secara fisik maupun psikis anak didik. Berdasarkan pandangan di atas maka sangat jelas sekali bahwa filsafat progressivisme bermaksud menjadikan anak didik yang memiliki kualitas dan terus maju (progres) sebagai generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban baru.
Peran Guru dalam Aliran Progresivisme
Peran guru dalam suatu kelas yang berorientasi secara progresif adalah berfungsi sebagai seorang pembimbing atau orang yang menjadi sumber, yang pada intinya memiliki tanggung jawab untuk memfasilitasi pembelajaran siswa. Guru berhubungan dengan membantu para siswa mempelajari apa yang penting bagi mereka. Terhadap tujuan ini, guru progresif berusaha untuk memberi siswa pengalaman –pengalaman yang mereplikasi/ meniru kehidupan keseharian sebanyak mungkin. Para siswa diberi banyak kesempatan untuk bekerja secara kooperatif di dalam kelompok, seringkali pemecahan masalah dipandang penting dilakukan oleh kelompok itu, bukan oleh guru.
Pandangan Progresivisme Mengenai Kurikulum
Filsafat progresivisme menghendaki jenis kurikulum yang bersifat luwes (fleksibel) dan eksperimental (pengalaman). Jadi kurikulum bisa diubah dan dibentuk sesuai dengan zamannya. W.H Kilpatrick mengatakan, suatu kurikulum yang dianggap baik didasarkan atas tiga prinsip:
1.        Meningkatkan kualitas hidup anak didik pada tiap jenjang.
2.        Menjadikan kehidupan aktual anak ke arah perkembangan dalam suatu kehidupan yang bulat dan menyeluruh.
3.        Mengembangkan aspek kreatif kehidupan sebagai suatu uji coba atas keberhasilan sekolah sehingga anak didik dapat berkembang dalam kemampuannya yang aktual untuk aktif memikirkan hal-hal baru yang baik untuk diamalkan.
Untuk itu sangat diperlukan kurikulum yang berpusat pada pengalaman atau kurikulum eksperimental, yaitu kurikulum yang berpusat pada pengalaman, di mana apa yang telah diperoleh anak didik selama di sekolah akan dapat diterapkan dalam kehidupan nyatanya. Dengan metode pendidikan "Belajar Sambil Berbuat" (Learning by doing) dan pemecahan masalah (Problem solving) dengan langkah-langkah menghadapi problem, dan mengajukan hipotesa.
Sumber :
http://mukhliscaniago.wordpress.com/2010/12/13/aliran-filsafat-pendidikan-progresivisme/




Esensialisme Aliran Filsafat dalam Pendidikan


Esensialisme Aliran Filsafat dalam Pendidikan
1.      Pandangan secara Ontologi
Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsep bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur isinya dengan tiada ada pula. Pendapat ini berarti bahwa bagaimana bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata alam yang ada. Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia.
Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, dimana terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas. Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman. John Butler mengutarakan ciri dari keduanya yaitu, alam adalah yang pertama-tama memiliki kenyataan pada diri sendiri, dan dijadikan pangkal berfilsafat. Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik. Dan disana terdapat sesuatu yang menghasilkan penginderaan dan persepsi-persepsi yang tidak semata-mata bersifat mental. Esensialisme merupakan aliran yang ingin kembali kepada kebudayaan-kebudayaan lama yang warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan manusia. Esensialisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah kepada keduniawian, serba ilmiah dan materialistic.

Tokoh-tokoh Esensialisme

1. Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831)
Gambar 6: Georg Wilhelm Friedrich HegelHegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang sejenis. Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah adalah manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan ekspresi mengenai pengaturan yang dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata dalam arti spiritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari gerak, maka ekspresi berpikir juga merupakan gerak.
2. George Santayana
George Santayana memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung asas otoriter atau nilai-nilai, namun juga tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri (memilih, melaksanakan).
2.     Pandangan secara Epistimologi
Teori kepribadian manusia sebagai refleksi Tuhan adalah jalan untuk mengerti epistemologi esensialisme. Sebab jika manusia mampu menyadari realita sebagai mikrokosmos dan makrokosmos, maka manusia pasti mengetahui dalam tingkat atau kualitas apa rasionya mampu memikirkan kesemestiannya.
Berdasarkan kualitas inilah dia memperoduksi secara tepat pengetahuannya dalam benda-benda, ilmu alam, biologi, sosial, dan agama.
1.    Pandangan Kontraversi Jasmaniah dan Rohaniah
Perbedaan idealisme dan realisme adalah karena yang pertama menganggap bahwa rohani adalah kunci kesadaran tentang realita. Manusia mengetahui sesuatu hanya di dalam dan melalui ide, rohaniah. Sebaliknya realist berpendapat bahwa kita hanya mengctahui sesuatu realita di dalam melalui jasmani.
2.    Pendekatan (Approach) ldealisme pada Pengetahuan
Kita hanya mengerti rohani kita sendiri, tetapi pengertian ini memberi kesadaran untuk mengerti realita yang lain. Sebab kesadaran kita, rasio manusia adalah bagian dari pada rasio Tuhan yang Maha Sempurna. Menurut T.H Green, approach personalisme itu hanya melalui introspeksi. Padahal manusia tidak mungkin mengetahui sesuatu hanya dengan kesadaran jiwa tanpa adanya pengamatan. Karena itu setiap pengalaman mental pasti melalui refleksi antara macam-macam pengamalan.
3.    Menurut Teori Koneksionisme
Teori ini menyatakan semua makhluk, termasuk manusia terbentuk (tingkah lakunya) oleh pola-pola connections between (hubungan-hubungan antara) stimulus dan respon. Dan manusia dalam hidupnya selalu membentuk tata jawaban dengan jalan memperkuat atau memperlemah hubungan antara stimulus dan respon. Aliran ini menyatakan bahwa media antara inetelek dengan realita adalah seberkas pengindraaan dan pengamatan.
 
3.      Pandangan secara Aksiologi
Pandangan ontologi dan epistemologi sangat mempengaruhi pandangan aksiologi. Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal, tergantung pada pandangun-pandangan idealisme dan realism sebab essensialisme terbina aleh kedua syarat tersebut.
a.       Teori Nilai Menurut Idealisme
Penganut idealisme berpegang bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos, karena itu seseorang dikatakan baik jika banyak interaktif berada di dalam dan melaksanakan hukum-hukum itu. Menurut idealisme bahwa sikap, tingkah laku dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. George Santayana memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu.
b.      Teori Nilai Menurut Realisme
Prinsip sederhana realisme tentang etika ialah melalui asas ontologi bahwa sumber semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa mengenai masalah baik-buruk khususnya dan keadaan manusia pada umumnya, realisme bersandarkan atas keilumuan dan lingkungan. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan yang timbul sebagai akibat adanya saling hubungan antara pembawa-pembawa fisiologis dan pengaruh-pengaruh dari Iingkungan.

Pandangan Essensialisme Mengenai Kurikulum
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Herman Harrel Horne dalam bukunya mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan alas fundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik. Atas ketentuan ini kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah ditentukan. Bogoslousky mengutarakan di samping menegaskan supaya kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain, kurikulum dapat diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian:
1.   Universum: Pengetahuan merupakan latar belakang adanya kekuatan segala manifestasi hidup manusia. Di antaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal usul tata surya dan lain-Iainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang diperluas.
2.   Sivilisasi:Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan tcrhadap lingkungannya, mengejar kebutuhan, dan hidup aman dan sejahtera.
3.   Kebudayaan: Kebudayaan mempakan karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
4.   Kepribadian: Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak bertentangan dengan kepribadian yang ideal. Dalam kurikulum hendaklah diusahakan agar faktor-faktor fisik, fisiologi, emosional dan ientelektual sebagai keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis, sesuai dengan kemanusiaan ideal. Robert Ulich berpendapat bahwa meskipun pada hakikatnya kurikulum disusun secara fleksibel karena perlu mendasarkan atas pribadi anak, fleksibilitas tidak tepat diterapkan pada pemahaman mengenai agama dan alam semesta. Untuk ini perlu diadakan perencanaan dengan keseksamaan dan kepastian. Butler mengemukakan bahwa sejumlah anak untuk tiap angkatan baru haruslah dididik untuk mengetahui dan mengagumi Kitab Suci. Sedangkan Demihkevich menghendaki agar kurikulum berisikan moralitas yang tinggi. Realisme mengumpamakan kurikulum sebagai balok-balok yang disusun dengan teratur satu sama lain yaitu disusun dari paling sederhana sampai kepada yang paling kompleks. Susunan ini dapat diutarakan ibarat sebagai susunan dari alam, yang sederhana merupakan fundamen at au dasar dari susunannya yang paling kompleks. Jadi bila kurikulum disusun atas dasar pikiran yang demikian akan bersifat harmonis.