Progresivisme
Aliran filsafat dalam Proses Belajar dan Pendidikan
1. Pandangan Secara Ontologi
Pandangan ontologi progresivisme bertumpu pada tiga
hal yakni asas hereby (asas keduniaan), pengalaman sebagai realita dan
pikiran (mind) sebagai fungsi manusia yang unik. Ontologi Progresivisme
adalah sebagai berikut:
a. Asas Hereby ialah adanya kehidupan
realita yang amat luas tidak terbatas sebab kenyataan alam semesta adalah
kenyataan dalam kehidupan manusia.
b. Pengalaman adalah kunci pengertian manusia atas segala sesuatu. Manusia
punya potensi pikiran (mind) yang berperan dalam pengalaman. Eksistensi
dan realita mind hanyalah di dalam aktivitas, dalam tingkah laku. John
Dewey mengatakan, pengalaman adalah key concept manusia atas segala sesuatu.
Pengalaman ialah suatu realita yang telah meresap dan membina pribadi.
Pengalaman menurut Progresivisme:
1. Dinamis, hidup selalu dinamis, menuntut adaptasi, dan readaptasi dalam
semua variasi perubahan terus menerus.
2. Temporal (perubahan dari waktu ke waktu);
3. Spatial yakni terjadi disuatu tempat tertentu dalam lingkungan hidup
manusia;
4. Pluralistis yakni terjadi seluas adanya hubungan dan antraksi dalam mana
individu terlibat. Demikian pula subyek yang mengalami pengalaman itu,
menangkapnya, dengan seluruh kepribadiannya degnan rasa, karsa, pikir dan
pancainderanya. Sehingga pengalaman itu bersifat pluralistis.
c. Pikiran (mind) sebagai fungsi manusia yang unik. Manusia hidup
karena fungsi-fungsi jiwa yang ia miliki. Potensi intelegensi ini meliputi
kemampuan mengingat, imaginasi, menghubung-hubungkan, merumuskan, melambangkan
dan memecahkan masalah serta komunikasi dengan sesamanya. Mind ini ialah
integrasi di dalam kepribadian, bukan suatu entity (kesatuan lahir) sendiri.
Eksistensi dan realita mind hanyalah di dalam aktivitas. Mind adalah apa yang
manusia lakukan. Mind pada prinsipnya adalah berperan di dalam pengalaman.
Tokoh-tokoh
Progresivisme
1.
William James (11 Januari 1842 – 26
Agustus 1910)
James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik, harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk membebaskan ilmu jiwa dari prakonsepsi teologis, dan menempatkannya di atas dasar ilmu perilaku.
James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik, harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk membebaskan ilmu jiwa dari prakonsepsi teologis, dan menempatkannya di atas dasar ilmu perilaku.
2.
John Dewey (1859 – 1952)
John Dewey dalam mengemukakan teorinya berangkat dari filsafat pragmatisme yang diukur dengan setandar rasional. Teori Dewey tentang sekolah adalah “Progressivism” yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah “Child Centered Curiculum”, dan “Child Centered School”. Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas
John Dewey dalam mengemukakan teorinya berangkat dari filsafat pragmatisme yang diukur dengan setandar rasional. Teori Dewey tentang sekolah adalah “Progressivism” yang lebih menekankan pada anak didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah “Child Centered Curiculum”, dan “Child Centered School”. Progresivisme mempersiapkan anak masa kini dibanding masa depan yang belum jelas
3.
Hans Vaihinger (1852 – 1933)
Hans VaihingerMenurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis. Persesuaian dengan obyeknya tidak mungkin dibuktikan; satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya (dalam bahasa Yunani Pragma) untuk mempengaruhi kejadian-kejadian di dunia. Segala pengertian itu sebenarnya buatan semata-mata. Jika pengertian itu berguna. untuk menguasai dunia, bolehlah dianggap benar, asal orang tahu saja bahwa kebenaran ini tidak lain kecuali kekeliruan yang berguna saja.
Hans VaihingerMenurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis. Persesuaian dengan obyeknya tidak mungkin dibuktikan; satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya (dalam bahasa Yunani Pragma) untuk mempengaruhi kejadian-kejadian di dunia. Segala pengertian itu sebenarnya buatan semata-mata. Jika pengertian itu berguna. untuk menguasai dunia, bolehlah dianggap benar, asal orang tahu saja bahwa kebenaran ini tidak lain kecuali kekeliruan yang berguna saja.
2. Pandangan Secara Epistimologi
Pandangan epistimologi
progresivisme ialah bahwa pengetahuan itu informasi, fakta, hukum, prinsip, proses,
dan kebiasaan yang terakumulasi dalam pribadi sebagai proses interaksi dan
pengalaman. Pengetahuan diperoleh manusia baik secara langsung melalui
pengalaman dan kontak dengan segala realita dalam lingkungan, ataupun
pengetahuan diperoleh langsung melalui catatan-catatan. Pengetahuan adalah
hasil aktivitas tertentu. Makin sering kita menghadapi tuntutan lingkungan dan
makin banyak pengalaman kita dalam praktik, maka makin besar persiapan kita
menghadapi tuntutan masa depan. Pengetahuan harus disesuaikan dan dimodifikasi
dengan realita baru di dalam lingkungan.
Ada tiga hal yang dibicarakan dalam Epistimologi
Filsafat yaitu : objek filsafat (yang dipikirkan), cara memperoleh
pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran pengetahuan filsafat.
1. Objek Filsafat
Tujuan berfilsafat adalah menemukan
kebenaran yang sebenarnya, yang terdalam. Susunan hasil pemikiran disebut
Sistematika Filsafat atau Struktur Filsafat yang terdiri atas ontologi,
epistimologi, dan aksiologi. Isi setiap cabang filsafat ditentukan oleh
objek apa yang diteliti (dipikirkan). Jika memikirkan pendidikan, jadilah
filsafat pendidikan, dan seterusnya. Objek penelitian filsafat lebih luas dari
objek penelitian sain sebab filsafat meneliti objek yang Ada dan mungkin ada.
2. Cara Memperoleh Pengetahuan Filsafat
Berfilsafat ialah berfirkir, dan
berfikir itu menggunakan akal. Dari sini timbul masalah apa
itu “ akal “ . Akal ini diperdebatkan oleh ahli akal
(Locke,Voltaire, Will Durant,David Hume,dan sebagainya dan orang –orang yang secara
intesif mengunakan akalnya.Untuk itu mereka menerima bahwa “bahwa akal itu
ada”, dan ia bekerja berdasarkan suatu cara yang tidak begitu kita kenal.
Aturan kerjanyadisebut “ logika “. Sejauh akal itu bekerja menurut aturan
logika, agaknya kita dapat menerima kebenarannya. Kerja akal yaitu berfikir
mendalam, menghasilkan filsafat.
3. Ukuran Kebenaran Pengetahuan
Filsafat
Pengetahuan filsafat merupakan
pengetahuan yang logis. Ukuran kebenaran filsafat ialah logis tidaknya
pengetahuan itu. Bila logis benar, bila tidak logis, salah. Ukuran logis
tidaknya terlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan (teori).
Argumen menjadi kesatuan dengan konklusi, dan konklusi ini disebut teori
filsafat. Bobot teori filsa fat terletak pada kekuatan argumen, maka diterima
pendapat yang mengatakan bahwa filsafat itu argumen. Kebenaran konklusi
ditentukan 100% oleh argumen
3. Pandangan Secara Aksiologi
Dalam pandangan progresivisme di
bidang aksiologi ialah nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, dengan
demikian menjadi mungkin adanya saling hubungan. Jadi masyarakat menjadi wadah
timbulnya nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari
dorongan, kehendak, perasaan, kecerdasan dari individu-individu. Nilai itu
benar atau tidak benar, baik atau buruk apabila menunjukkan persesuaian dengan
hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan.
Pandangan pendidikan
progresivisme menghendaki yang progresif. Tujuan pendidikan hendaklah diartikan
sebagai rekonstruksi pengalaman yang terus menerus. Pendidikan hendaklah bukan
hanya menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik untuk diterima saja,
melainkan yang lebih penting daripada itu adalah melatih kemampuan berpikir
dengan memberikan stimuli-stimuli.
Pandangan Progresivisme
Dalam Proses Belajar
Filsafat
progressivisme meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada peserta
didik. Anak didik diberikan kebebasan secara fisik maupun cara berfikir, guna
mengembangakan bakat, kreatifitas dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya
tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain. Oleh karena itu
filsafat progressivisme tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab,
pendidikan otoriter akan mematikan tunas-tunas para pelajar untuk hidup sebagai
pribadi-pribadi yang gembira menghadapi pelajaran, sekaligus mematikan daya
kreasi baik secara fisik maupun psikis anak didik. Berdasarkan pandangan di
atas maka sangat jelas sekali bahwa filsafat progressivisme bermaksud
menjadikan anak didik yang memiliki kualitas dan terus maju (progres) sebagai
generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban baru.
Peran Guru
dalam Aliran Progresivisme
Peran guru
dalam suatu kelas yang berorientasi secara progresif adalah berfungsi sebagai
seorang pembimbing atau orang yang menjadi sumber, yang pada intinya memiliki
tanggung jawab untuk memfasilitasi pembelajaran siswa. Guru berhubungan dengan
membantu para siswa mempelajari apa yang penting bagi mereka. Terhadap tujuan
ini, guru progresif berusaha untuk memberi siswa pengalaman –pengalaman yang
mereplikasi/ meniru kehidupan keseharian sebanyak mungkin. Para siswa diberi
banyak kesempatan untuk bekerja secara kooperatif di dalam kelompok, seringkali
pemecahan masalah dipandang penting dilakukan oleh kelompok itu, bukan oleh
guru.
Pandangan
Progresivisme Mengenai Kurikulum
Filsafat
progresivisme menghendaki jenis kurikulum yang bersifat luwes (fleksibel) dan
eksperimental (pengalaman). Jadi kurikulum bisa diubah dan dibentuk sesuai
dengan zamannya. W.H Kilpatrick mengatakan, suatu kurikulum yang dianggap baik
didasarkan atas tiga prinsip:
1.
Meningkatkan
kualitas hidup anak didik pada tiap jenjang.
2.
Menjadikan
kehidupan aktual anak ke arah perkembangan dalam suatu kehidupan yang bulat dan
menyeluruh.
3.
Mengembangkan
aspek kreatif kehidupan sebagai suatu uji coba atas keberhasilan sekolah
sehingga anak didik dapat berkembang dalam kemampuannya yang aktual untuk aktif
memikirkan hal-hal baru yang baik untuk diamalkan.
Untuk itu
sangat diperlukan kurikulum yang berpusat pada pengalaman atau kurikulum
eksperimental, yaitu kurikulum yang berpusat pada pengalaman, di mana apa yang
telah diperoleh anak didik selama di sekolah akan dapat diterapkan dalam
kehidupan nyatanya. Dengan metode pendidikan "Belajar Sambil Berbuat"
(Learning by doing) dan pemecahan masalah (Problem solving)
dengan langkah-langkah menghadapi problem, dan mengajukan hipotesa.
Sumber :
http://mukhliscaniago.wordpress.com/2010/12/13/aliran-filsafat-pendidikan-progresivisme/