Esensialisme Aliran Filsafat dalam
Pendidikan
1.
Pandangan secara Ontologi
Sifat yang menonjol dari ontologi
esensialisme adalah suatu konsep bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada
cela, yang mengatur isinya dengan tiada ada pula. Pendapat ini berarti bahwa
bagaimana bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan
dengan tata alam yang ada. Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk
pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu
pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia.
Esensialisme adalah pendidikan yang
didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban
umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance dengan ciri-ciri utama
yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya yang utama ialah dalam
memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, dimana
terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin
tertentu. Esensialisme
memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki
kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih
yang mempunyai tata yang jelas. Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan
reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka,
disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam
semesta, yang memenuhi tuntutan zaman. John Butler mengutarakan ciri dari
keduanya yaitu, alam adalah yang pertama-tama memiliki kenyataan pada diri sendiri,
dan dijadikan pangkal berfilsafat. Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak
pada dunia fisik. Dan disana terdapat sesuatu yang menghasilkan penginderaan
dan persepsi-persepsi yang tidak semata-mata bersifat mental. Esensialisme merupakan aliran yang
ingin kembali kepada kebudayaan-kebudayaan lama yang warisan sejarah yang telah
membuktikan kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan manusia. Esensialisme didasari
atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah
kepada keduniawian, serba ilmiah dan materialistic.
Tokoh-tokoh
Esensialisme
1. Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831)
Gambar 6: Georg Wilhelm Friedrich
HegelHegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama
menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan spiritual. Sebuah penerapan
yang dapat dijadikan contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori sejarah.
Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum
yang sejenis. Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah adalah manifestasi dari
berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir dan mengadakan ekspresi mengenai pengaturan
yang dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata dalam arti spiritual. Oleh
karena Tuhan adalah sumber dari gerak, maka ekspresi berpikir juga merupakan
gerak.
2.
George Santayana
George Santayana memadukan antara
aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu sintesa dengan mengatakan
bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat,
perhatian dan pengalaman seseorang menentukan adanya kualitas tertentu.
Walaupun idealisme menjunjung asas otoriter atau nilai-nilai, namun juga tetap
mengakui bahwa pribadi secara aktif bersifat menentukan nilai-nilai itu atas
dirinya sendiri (memilih, melaksanakan).
2. Pandangan secara Epistimologi
Teori kepribadian manusia sebagai
refleksi Tuhan adalah jalan untuk mengerti epistemologi esensialisme. Sebab
jika manusia mampu menyadari realita sebagai mikrokosmos dan makrokosmos, maka
manusia pasti mengetahui dalam tingkat atau kualitas apa rasionya mampu memikirkan
kesemestiannya.
Berdasarkan kualitas inilah dia
memperoduksi secara tepat pengetahuannya dalam benda-benda, ilmu alam, biologi,
sosial, dan agama.
1. Pandangan Kontraversi Jasmaniah dan
Rohaniah
Perbedaan idealisme dan realisme
adalah karena yang pertama menganggap bahwa rohani adalah kunci kesadaran
tentang realita. Manusia mengetahui sesuatu hanya di dalam dan melalui ide,
rohaniah. Sebaliknya realist berpendapat bahwa kita hanya mengctahui sesuatu
realita di dalam melalui jasmani.
2. Pendekatan (Approach) ldealisme pada
Pengetahuan
Kita hanya mengerti rohani kita
sendiri, tetapi pengertian ini memberi kesadaran untuk mengerti realita yang
lain. Sebab kesadaran kita, rasio manusia adalah bagian dari pada rasio Tuhan
yang Maha Sempurna. Menurut T.H Green, approach personalisme itu hanya melalui
introspeksi. Padahal manusia tidak mungkin mengetahui sesuatu hanya dengan
kesadaran jiwa tanpa adanya pengamatan. Karena itu setiap pengalaman mental
pasti melalui refleksi antara macam-macam pengamalan.
3. Menurut Teori Koneksionisme
Teori ini menyatakan semua makhluk,
termasuk manusia terbentuk (tingkah lakunya) oleh pola-pola connections between
(hubungan-hubungan antara) stimulus dan respon. Dan manusia dalam hidupnya
selalu membentuk tata jawaban dengan jalan memperkuat atau memperlemah hubungan
antara stimulus dan respon. Aliran ini menyatakan bahwa media antara inetelek
dengan realita adalah seberkas pengindraaan dan pengamatan.
3.
Pandangan secara Aksiologi
Pandangan ontologi dan epistemologi
sangat mempengaruhi pandangan aksiologi. Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal,
tergantung pada pandangun-pandangan idealisme dan realism sebab essensialisme
terbina aleh kedua syarat tersebut.
a.
Teori Nilai Menurut
Idealisme
Penganut idealisme berpegang bahwa hukum-hukum etika
adalah hukum kosmos, karena itu seseorang dikatakan baik jika banyak interaktif
berada di dalam dan melaksanakan hukum-hukum itu. Menurut idealisme bahwa
sikap, tingkah laku dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan
kualitas baik dan buruk. George
Santayana memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam suatu
sintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu
konsep tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang turut
menentukan adanya kualitas tertentu.
b.
Teori Nilai
Menurut Realisme
Prinsip sederhana realisme tentang etika ialah melalui
asas ontologi bahwa sumber semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan
lingkungan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa mengenai masalah baik-buruk
khususnya dan keadaan manusia pada umumnya, realisme bersandarkan atas
keilumuan dan lingkungan. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan yang
timbul sebagai akibat adanya saling hubungan antara pembawa-pembawa fisiologis
dan pengaruh-pengaruh dari Iingkungan.
Pandangan
Essensialisme Mengenai Kurikulum
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu
hendaklah berpangkal pada landasan idiil dan organisasi yang kuat. Herman
Harrel Horne dalam bukunya mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan
alas fundamen tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat
yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada
yang serba baik. Atas ketentuan ini kegiatan atau keaktifan anak didik tidak
terkekang, asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah ditentukan. Bogoslousky mengutarakan di samping
menegaskan supaya kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata
pelajaran yang satu dengan yang lain, kurikulum dapat diumpamakan sebagai
sebuah rumah yang mempunyai empat bagian:
1. Universum:
Pengetahuan merupakan latar belakang adanya kekuatan segala manifestasi hidup
manusia. Di antaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal usul tata
surya dan lain-Iainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam
kodrat yang diperluas.
2. Sivilisasi:Karya
yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan sivilisasi
manusia mampu mengadakan pengawasan tcrhadap lingkungannya, mengejar kebutuhan,
dan hidup aman dan sejahtera.
3. Kebudayaan:
Kebudayaan mempakan karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat,
kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
4. Kepribadian:
Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak
bertentangan dengan kepribadian yang ideal. Dalam kurikulum hendaklah
diusahakan agar faktor-faktor fisik, fisiologi, emosional dan ientelektual
sebagai keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis, sesuai dengan
kemanusiaan ideal. Robert Ulich
berpendapat bahwa meskipun pada hakikatnya kurikulum disusun secara fleksibel
karena perlu mendasarkan atas pribadi anak, fleksibilitas tidak tepat
diterapkan pada pemahaman mengenai agama dan alam semesta. Untuk ini perlu
diadakan perencanaan dengan keseksamaan dan kepastian. Butler mengemukakan
bahwa sejumlah anak untuk tiap angkatan baru haruslah dididik untuk mengetahui
dan mengagumi Kitab Suci. Sedangkan Demihkevich menghendaki agar kurikulum
berisikan moralitas yang tinggi. Realisme mengumpamakan kurikulum
sebagai balok-balok yang disusun dengan teratur satu sama lain yaitu disusun
dari paling sederhana sampai kepada yang paling kompleks. Susunan ini dapat
diutarakan ibarat sebagai susunan dari alam, yang sederhana merupakan fundamen
at au dasar dari susunannya yang paling kompleks. Jadi bila kurikulum disusun
atas dasar pikiran yang demikian akan bersifat harmonis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar