Sejarawan Indonesia, Sartono
Kartodirdjo dalam bukunya “Pemberontakan Petani Banten 1888”, menyebutkan
sebelum abad 16, daerah Cilegon merupakan tanah rawa yang belum banyak dirambah
dan dihuni orang. Arti dari kata "cilegon"
sendiri berasal dari kondisi alam Cilegon tersebut yang banyak rawa-rawa.
Kemudian pada masa kerajaan
Banten di bawah Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672) dilakukan pembukaan lahan
pertanian di daerah Serang dan Cilegon, dengan merubah rawa menjadi persawahan.
Sejak itu banyak pendatang yang menetap di perkampungan kecil Cilegon.
Penduduk Cilegon, menurut
Sartono, merupakan keturunan orang-orang Jawa yang datang dari Demak dan
Cirebon. Sesuai berjalannya waktu, mereka ini kemudian berbaur dengan
orang-orang Sunda, Bugis, Melayu, dan Lampung. Mereka adalah kelompok-kelompok
perantau yang cerdas, lebih sadar diri dalam hal agama, fanatik, agresif, dan
bersemangat memberontak.
Berbeda dengan daerah lainnya di
Banten, saat itu di Cilegon hampir tidak terdapat ciri-ciri peradaban
Hindu-Jawa seperti gelar keturunan atau kebangsawanan yang mencirikan
kasta-kasta sosial. Selain itu penetrasi Islam sangat mendalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar