Jumat, 19 Desember 2014

Revolusi di Dunia Pendidikan Indonesia


KRISIS multidimensional yang melanda Indonesia membuka mata kita terhadap mutu sumber daya manusia (SDM) kita, dan dengan sendirinya juga terhadap mutu pendidikan yang menghasilkan SDM itu. Faktor penyebab krisis memang kompleks, tapi penyebab utama adalah SDM kita yang kurang bermutu. SDM kita belum cukup profesional, belum memiliki keterampilan managerial yang andal. Dan yang paling merisaukan SDM kita sering bertindak tanpa moralitas.
Menurut IMD (2000) Indonesia menduduki peringkat ke-45 (dari 47 negara) dalam hal daya saing. Padahal Singapura berada pada posisi no.2 dan Malaysia serta Thailand masing-masing pada urutan ke-25 dan ke-23. Daya saing ditentukan oleh mutu SDM. Ditinjau dari segi mutu SDM, Indonesia menduduki peringkat 46. SDM Indonesia ternyata kurang menguasai sains dan teknologi, dan kurang mampu secara manajerial. Dalam kedua hal ini Indonesia mendapat nomor urut 42 dan 44.
Penelitian lain mengungkapkan, produktivitas SDM Indonesia rendah, karena kurang percaya diri, kurang kompetitif, kurang kreatif dan sulit berprakarsa sendiri (=selfstarter, N Idrus CITD 1999). Hal itu disebabkan oleh sistem pendidikan yang top down, dan yang tidak mengembangkan inovasi dan kreativitas.
Tidak adil apabila kita hanya mempersalahkan dunia pendidikan. Karena kemerosotan turut dipengaruhi oleh faktor lingkungan, khususnya media massa. Namun, tetap benar institusi yang ex officio bertanggung jawab terhadap pembinaan SDM adalah dunia pendidikan.
Kita membutuhkan satu revolusi di bidang pendidikan. Kita harus menjungkirbalikan paham dan nilai yang ada, dan menggeser serta mengubah paradigma yang keliru. 
Pada tempat pertama semua kegiatan pendidikan harus diarahkan dengan jelas dan tegas kepada tujuan pendidikan. Kita belajar bukan untuk sekolah (non scholae) tetapi untuk hidup (sed vitae discimus). Sistem pendidikan di Indonesia sudah mengubah sama sekali adagium kuno ini. Kita belajar bukan untuk hidup melainkan untuk sekolah. Sekolah menentukan kurikulum dan silabus. Sekolah menentukan metode belajar-mengajar. Sekolah menentukan ulangan, ujian, kelulusan, wisuda sampai dengan pakaian (bahkan sepatu) seragam. Sekolah menentukan uang pangkal, uang sekolah, sumbangan ini dan itu.

Masyarakat mengikuti apa yang ditentukan sekolah, tanpa mempertanyakan secara kritis apa manfaat semuanya itu, ditinjau dari segi pencapaian tujuan pendidikan. Banyak hal yang ditentukan sekolah merupakan ritus hampa (Ivan Illich), yang sama sekali tidak berkaitan dengan tujuan pendidikan.
Ambillah sebagai contoh mata ajaran Pendidikan Agama (dapat ditambah dengan P4 dahulu dan Budi Pekerti). Dua jam per pekan, sekian puluh jam per tahun, sekian ratus jam per jenjang sekolah. Tetapi hasilnya? Mengecewakan!
Kita memperoleh sekian banyak orang yang menghapal dan mungkin juga memahami ajaran dan tradisi keagamaannya, tetapi sama sekali tidak menjalankannya di dalam hidupnya. Padahal tujuan pendidikan agama bukannya penumpukan pengetahuan tentang agama melainkan pembinaan sikap dan perilaku seorang beriman sejati. Tujuan ini dapat tercapai tanpa menjejalkan sekian banyak pengetahuan ke dalam benak (atau bahkan ingatan) murid.
Berkaitan dengan tujuan pendidikan paradigma lama terlalu abstrak dan kurang "operasional". Ia harus lebih dikonkritkan. Tujuan pendidikan adalah kepribadian mandiri, yang mampu menata kehidupan dan penghidupannya di dalam sikon hidup konkrit dan kontemporer. Kemampuan menata kehidupan dan penghidupan diperoleh karena murid menguasai satu atau satu jenis pekerjaan sebagai sumber nafkah.

Sistem pendidikan memang tidak berkewajiban mencari atau memberikan lapangan kerja kepada murid. Akan tetapi ia berkewajiban mempersiapkan murid untuk memasuki lapangan kerja tertentu atau menciptakan lapangan kerjanya sendiri.
Keterkaitan antara pasar kerja dan pendidikan merupakan masalah besar yang harus ditanggapi secara serius. Tiap hari koran-koran menawarkan berbagai lapangan kerja. Tetapi para pelamar "mundur teratur", karena merasa tidak sanggup memenuhi persyaratan yang dituntut. Sekolah sama sekali tidak menyiapkan mereka untuk itu. Sekolah tidak merasa perlu mendidik orang yang fasih berbahasa Inggris, padahal banyak iklan menuntut: fluent in English. Masyarakat modern membutuhkan orang-orang yang melek komputer.

Sekolah merasa sudah puas dengan manusia melek huruf, penguasaan komputer menjadi urusan "kursus-kursus". Sebaliknya ada hal-hal yang tidak perlu, tetapi karena masih tercantum dalam kurikulum tetap diajarkan. Akademi Sekretaris misalnya masih sangat mengutamakan penguasaan Steno Karundeng, padahal alat perekam sudah menggeser kedudukan Steno. Semua itu menunjukkan bahwa paradigma lama: pendidikan sebagai penyalur dan pengawet kebudayaan sangat diperhatikan, sedangkan paradigma pendidikan sebagai agen perubahan dan modernisasi, diabaikan.
Kalau dunia pendidikan ingin membantu murid menata kehidupan dan penghidupan dengan berhasil, maka mata ajaran/pelatihan, proses pembelajaran dan interaksi di sekolah harus melowongkan waktu yang lebih banyak bagi pengembangan potensi-potensi lain di luar IQ. Sekarang ini semua diarahkan kepada pengembangan kemampuan intelektual/akademis. Kemampuan lain kurang diperhatikan. Paradigma akademis harus didampingi dengan paradigma keterampilan hidup dalam berinteraksi dengan lingkungan alam dan masyarakat.
Kecerdasan intelektual juga tidak boleh direndahkan menjadi kemampuan merekam dengan ingatan (seperti yang lazim terjadi sekarang ini), dan juga tidak boleh terbatas hanya kepada kemampuan berpikir logis perseptif, dan logis konvergen. Harus diberdayakan kemampuan berpikir kritis, divergen, kreatif dan inovatif. Hanya manusia Indonesia yang kritis dan kreatif dapat menghasilkan inovasi di dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat bangsa.
Kurikulum yang begitu padat masih menghantui para guru di sekolah-sekolah kita. Sejak beberapa waktu lalu sudah mulai diadakan perampingan kurikulum, dan belakangan ini orang berbicara tentang kompetisi dasar. Kita harus mengubah paradigma penumpukan materi dengan paradigma pemberdayaan potensi peserta didik. Sejalan dengan itu metode "sekolah dengar" harus diganti dengan metode sekolah aktif yang mengutamakan swakarsa dan swakarya murid.
Yang penting bukannya menjejalkan sebanyak mungkin materi ke dalam benak murid, melainkan memicu murid menggunakan potensi-potensinya, sehingga potensi itu berkembang. Dengan kata lain pemberdayaan potensi jauh lebih penting daripada pencekokan materi. Untuk itu materi diciutkan, sehingga tersedia lebih banyak waktu untuk melatih, memberdayakan potensi.
Kompetisi yang paling dasar adalah kemampuan belajar sendiri. Oleh sebab itu sebelum diajarkan berbagai ilmu, diajarkan lebih dulu cara belajar sendiri. Untuk itu, perlu dikembangkan metode pembelajaran yang disebut pola proses. Pola proses mengutamakan peserta didik sendiri memanfaatkan potensi dan pengetahuan yang dimilikinya untuk menghadapi sesuatu.
Tidak terlalu bermanfaat menerima dan menabung sejumlah pengetahuan yang disajikan "satu arah" dari pihak guru. Yang lebih penting adalah mendorong murid dengan bahan yang terseleksi untuk mengerjakan sesuatu dengan potensinya. Pola penyajian bahan jadi yang tuntas harus diganti dengan pola pelontaran dan penyelesaian masalah (problem posing, problem solving). Satu masalah yang dekat dengan hidup diangkat dan dipelajari serta dicarikan penyelesaiannya oleh para murid baik sendiri-sendiri maupun dalam kerjasama kelompok. Daya serap tidak lagi menjadi tuntutan utama. Daya tanggap peserta didik dan keterampilannya untuk menghadapi sesuatu harus menjadi fokus proses pembelajaran.
Mutu pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan mutu tenaga kependidikan, khususnya tenaga pengajar. Harus ada kebijakan yang meningkatkan pamor dan status sosial para guru/pendidik. Jaminan kesejahteraan guru dan jaminan-jaminan sosial lain harus ditingkatkan, agar angkatan muda top ten juga berminat untuk menjadi pengajar/pendidik.
Mengingat tugas pendidik/pengajar bukan hanya mengasah otak, tetapi terutama membina kepribadian, maka mereka diharapkan memiliki kepribadian yang mantap dan menarik. Untuk itu diusulkan agar pendidikan guru dilaksanakan dalam asrama. Pembinaan dalam kebersamaan satu asrama di bawah bimbingan pendidik yang kompeten, diharapkan lebih ampuh menghasilkan tenaga yang berkepribadian. Sejarah pendidikan guru di masa lampau memang telah membuktikan hal ini.
Akhirnya revolusi pendidikan hanya dapat dilaksanakan apabila dunia pendidikan dibebaskan. Para penyelenggara dan pengelola pendidikan harus dibebaskan dari cengkeraman etatisme yang berlebihan. Sekarang ini dunia pendidikan ditentukan hampir seluruhnya oleh Negara (=Etat, Prancis) dengan aparat birokrasinya. Tidak boleh dilupakan bahwa hak mendidik pada tempat pertama ada pada orang tua yang melahirkan anak dan kemudian pada masyarakat. Hak ini terlalu kurang diperhatikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar