Salah satu cuplikan karya sastra tembang "Sinom" dalam
"Serat Kalatido"
Amenangi jaman edan ewuh aya ing pambudi
amenangi zaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya keduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada.
yang
terjemahannya sebagai berikut:
menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
tidak akan mendapat bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.
Syair di atas menurut analisis seorang penulis bernama Ki Sumidi Adisasmito
adalah ungkapan kekesalan hati pada masa pemerintahan Pakubuwono IX yang
dikelilingi para penjilat yang gemar mencari keuntungan pribadi. Syair tersebut
masih relevan hingga zaman modern ini di mana banyak dijumpai para pejabat yang
suka mencari keutungan pribadi tanpa memedulikan kerugian pihak lain.
Kemudian gubahan ini diakhiri dengan sebaris gatra yang bersandiasma,
berbunyi "bo-RONG ang-GA sa-WAR-ga me-SI mar-TA-ya". Mengandung arti
rasa berserah diri kehadapan Yang Maha Esa yang rnenguasai alam sorga, tempat
yang memuat kehidupan langgeng sejati.
Masyarakat Jawa tidak akan gampang melupakan sastrawan dan pujangga besar
bernama Raden Ngabehi (R. Ng.) Ronggowarsito. Tokoh yang hidup pada masa
ke-emasan Keraton Surakarta tersebut adalah pujangga besar yang telah
meninggalkan ‘warisan tak terharga’ berupa puluhan serat yang mempunyai nilai
dan capaian estika menakjubkan. Ketekunannya pada sastra, budaya, teologi serta
ditunjang bakat, mendudukkan ia sebagai pujangga terakhir Keraton Surakarta.
Asal-usul Rangga Warsita
Raden Ngabehi Rangga Warsita (alternatif: Ronggowarsito; lahir di
Surakarta, Jawa Tengah, tahun 1728 J atau 15 Maret 1802 M, meninggal di
Surakarta, Jawa Tengah, 24 Desember 1873 pada umur 71 tahun). R.Ng.
Ranggawarsita adalah pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan
Surakarta. Ia dianggap sebagai pujangga besar terakhir tanah Jawa.
Nama aslinya adalah Bagus Burhan. Ia adalah putra dari Mas Pajangswara
(juga disebut Mas Ngabehi Ranggawarsita. Ayahnya adalah cucu dari Yasadipura
II, pujangga utama Kasunanan Surakarta.
Ayah Bagus Burhan merupakan keturunan Kesultanan Pajang sedangkan ibunya
adalah keturunan dari Kesultanan Demak. Bagus Burhan diasuh oleh Ki Tanujaya,
abdi dari ayahnya.
Riwayat Masa Muda
Sewaktu muda Burhan terkenal nakal dan gemar judi. Ia dikirim kakeknya
untuk berguru agama Islam pada Kyai Imam Besar pemimpin Pesantren Gebang
Tinatar di desa Tegalsari (Ponorogo) asuhan Kyai Kasan Besari. Pada mulanya ia
tetap saja bandel, bahkan sampai kabur ke Madiun. Setelah kembali ke Ponorogo, konon,
ia mendapat "pencerahan" di Sungai Kedungwatu, sehingga berubah
menjadi pemuda alim yang pandai mengaji.
Sebagai putra bangsawan Burham mempunyai seorang emban bernama Ki Tanujoyo
sebagai guru mistiknya. Di masa kematangannya sebagai pujangga, Ronggowarsito
dengan gamblang dan wijang mampu menuangkan suara jaman dalam serat-serat yang
ditulisnya. Ronggowarsito memulai karirnya sebagai sastrawan dengan menulis
Serat Jayengbaya ketika masih menjadi mantri carik di Kadipaten Anom dengan
sebutan M. Ng. Sorotoko. Dalam serat ini dia berhasil menampilkan tokoh seorang
pengangguran bernama Jayengboyo yang konyol dan lincah bermain-main dengan
khayalannya tentang pekerjaan. Sebagai seorang intelektual, Ronggowarsito
menulis banyak hal tentang sisi kehidupan. Pemikirannya tentang dunia tasawuf
tertuang diantaranya dalam Serat Wirid
Hidayatjati, pengamatan sosialnya termuat dalam Serat Kalatidha, dan kelebihan beliau dalam dunia ramalan terdapat
dalam Serat Jaka Lodhang, bahkan pada
Serat Sabda Jati terdapat sebuah
ramalan tentang saat kematiannya sendiri.
Pertama mengabdi pada keraton Surakarta Hadiningrat dengan pangkat Jajar.
Pangkat ini meembuatnya menyandang nama Mas Panjangswara., adalah putra sulung
Raden Mas Tumenggung Sastranegara, pujangga kraton Surakarta.. Semasa kecil
beliau diasuh oleh abdi yang amat kasih bernama Ki Tanudjaja. Hubungan dan
pergaulan keduanya membuat Ranggawaraita memiliki jiwa cinta kasih dengan
orang-orang kecil (wong cilik). Ki Tanudjaja mempengaruhi kepribadian
Ranggawarsita dalam penghargaannya kepada wong cilik dan berkemampuan terbatas.
Karena pergaulan itu, maka dikemudian hari, watak Bagus Burham berkembang
menjadi semakin bijaksana.
Menjelang dewasa (1813 Masehi), ia pergi berguru kepada Kyai Imam Besari dipondok Gebang Tinatar. Tanggung jawab selama
berguru itu sepenuhnya diserahkan pada Ki Tanudjaja. Ternyata telah lebih dua
bulan, tidak maju-maju, dan ia sangat ketinggalan dengan teman seangkatannya.
Disamping itu, Bagus Burham di Panaraga mempunyai tabiat buruk yang berupa
kesukaan berjudi. Dalam tempo kurang satu tahun bekal 500 reyal habis bahkan 2
(dua) kudanyapun telah dijual. Sedangkan kemajuannya dalam belajar belum
nampak., Kyai Imam Besari menyalahkan Ki Tanudjaja sebagai pamong yang selalu
menuruti kehendak Bagus Burham yang kurang baik itu. Akhirnya Bagus Burham dan
Ki Tanudjaja dengan diam-diam menghilang dari Pondok Gebang Tinatar menuju ke
Mara. Disini mereka tinggal di rumah Ki ngasan Ngali saudara sepupu Ki
Tanudjaja. Menurut rencana, dari Mara mereka akan menuju ke Kediri, untuk
menghadap Bupati Kediri Pangeran Adipati cakraningrat. Namun atas petunjuk Ki
Ngasan Nga1i, mereka berdua tidak perlu ke Kediri, melainkan cukup menunggu
kehadiran Sang Adipati Cakraningrat di Madiun saja, karena sang Adi pati akan mampir
di Madiun dalam rangka menghadap ke Kraton Surakarta.
Selama menunggu kehadiran Adipati Cakraningrat itu, Bagus Burham dan Ki
Tanudjaja berjualan 'klitikan' (barang bekas yang bermacam-macam yang mungkin
masih bisa digunakan). Di pasar inilah Bagus Burham berjumpa dengan Raden
kanjeng Gombak, putri Adipati Cakraningrat, yang kelak menjadi isterinya. (Pada tanggal 9 November 1821 Burhan
menikah dengan Raden Ayu Gombak dan ikut mertuanya, yaitu Adipati
Cakradiningrat di Kediri, disana ia merasa jenuh dan memutuskan berkelana
ditemani Ki Tanujoyo. Konon, Burhan berkelana sampai ke Pulau Bali untuk
mempelajari naskah-naskah sastra Hindu koleksi Ki Ajar Sidalaku).
Kemudian Burham dan Ki Tanudjaja meninggalkan Madiun. Kyai Imam Besari
melaporkan peristiwa kepergian Bagus Burham dan Ki Tanudjaja kepada ayahanda
serta neneknya di Solo/Surakarta. Raden Tumenggung Sastranegara memahami
perihal itu, dan meminta kepada Kyai Imam Besari untuk ikut serta mencarinya.
Selanjutnya Ki Jasana dan Ki Kramaleya diperintahkan mencarinya. Kedua utusan
itu akhirnya berhasil menemukan Burham dan Ki Tanudjaja, lalu diajaknyalah
mereka kembali ke Pondok Gebang Tinatar, untuk melanjutkan berguru kepada Kyai
Imam Besari.
Ketika kembali ke Pondok, kenakalan Bagus Burham tidak mereda. Karena
kejengkelannya, maka Kyai Imam Besari memarahi Bagus Burham. Akhirnya Bagus
Burham menyesali perbuatannya dan sungguh-sungguh menyesal atas tindakannya
yang kurang baik itu. Melalui proses kesadaran dan penghayatan terhadap
kenyataan hidupnya itu, Bagus Burham menyadari perbuatannya dan menyesalkan hal
itu. Dengan kesadarannya, ia lalu berusaha keras untuk menebus ketinggalannya
dan berjanji tidak mengulangi kesalahannya, ia juga berusaha untuk
memperhatikan keadaan sekitarnya, yang pada akhirnya justru mendorongnya untuk
mengejar ketinggalan dalam belajar. Dengan demikian muncul kesadaran baru untuk
berbuat baik dan luhur, sesuai dengan kemampuannya.
Sejak saat itu, Bagus Burham belajar dengan lancar dan cepat, sehingga Kyai
Imam Besari dan teman-teman Bagus Burham menjadi heran atas kemajuan Bagus
Burham itu. Dalam waktu singkat, Bagus Burham mampu melebihi kawan-kawannya.
Setelah di Pondok Gebang Tinatar dirasa cukup, lalu kembali ke Surakarta, dan
dididik oleh neneknya sendiri, yaitu Raden Tumenggung Sastranegara. Neneknya
mendidik dengan berbagai ilmu pengetahuan yang amat berguna baginya. Setelah
dikhitan pada tanggal 21 Mei l8l5 Masehi,
Bagus Burham diserahkan kepada Gusti Panembahan Buminata, untuk mempelajari
bidang Jaya-kawijayan (kepandajan untuk menolak suatu perbuatan jahat atau
membuat diri seseorang merniliki suatu kemampuan yang melebihi orang
kebanyakan), kecerdas-an dan kemampuan jiwani.
Setelah tamat berguru, Bagus Burham dipanggil oleh Sri Paduka PB.IV dan
dianugerahi restu, yang terdiri dari tiga tingkatan, yaitu :
Pertama : Pendidikan
dan pembentukan kepribadian untuk mengatasi pubersitas. Hal ini dibuktikan
dengan pendidikan Kyai Imam Besari, yang didasari oleh cinta kasih dan
mengakibatkan Bagus Burham memiliki jiwa halus, teguh dan berkemauan keras.
Pendidikan dan pembentukan kepribadian untuk mengatasi pubersitas. Hal ini
dibuktikan dengan pendidikan Kyai Imam Besari, yang didasari oleh cinta kasih
dan mengakibatkan Bagus Burham memiliki jiwa halus, teguh dan berkemauan keras.
Pendidikan dan pembentukan kepribadian untuk mengatasi pubersitas. Hal ini
dibuktikan dengan pendidikan Kyai Imam Besari, yang didasari oleh cinta kasih
dan mengakibatkan Bagus Burham memiliki jiwa halus, teguh dan berkemauan keras.
Kedua : Pembentukan
jiwa seni oleh neneknya sendiri, Raden Tumenggung Sastranagara, seorang
pujangga berpengetahuan luas. Dalam hal pendidikan, RT. Sastranagara amat
terkenal dengan gubahannya Sasana Sunu dan Dasanama Jarwa. Dari neneknya, Bagus
Burham mendapatkan dasar-dasar tentang sastra Jawa. Pembentukan jiwa seni oleh
neneknya sendiri, Raden Tumenggung Sastranagara, seorang pujangga
berpengetahuan luas. Dalam hal pendidikan, RT. Sastranagara amat terkenal
dengan gubahannya Sasana Sunu dan Dasanama Jarwa. Dari neneknya, Bagus Burham
mendapatkan dasar-dasar tentang sastra Jawa.
Ketiga : Pembentukan
rasa harga diri, kepercayaan diri dan keteguhan iman diperoleh dari Gusti
Pangeran Harya Buminata. Dari pangeran ini, diperoleh pula ilmu Jaya-kawijayan,
kesaktian dan kanuragan. Proses inilah proses pendewasaan diri, agar siap dalam
terjun kemasyarakat. dan siap menghadapai segala macam percobaan dan dinamika
kehidupan.Bagus Burham secara kontinyu mendapat pendidikan lahir batin yang
sesuai dengan perkembangan sifat-sifat kodratiahnya, bahkan ditambah dengan
pengalamannya terjun mengembara ketempat-tempat yang dapat menggernbleng
pribadinya. Seperti pengalaman ke Ngadiluwih, Ragajambi dan tanah Bali.
Disamping gemblengan orang-orang tersebut diatas, terdapat pula bangsawan
keraton yang juga memberi dorongan kuat untuk meningkatkan kemampuannya,
sehingga karier dan martabatnya semakin meningkat.
Tanggal 28 Oktober 1818, ia diangkat menjadi pegawai keraton dengan jabatan Carik Kaliwon di
Kadipaten Anom, dengan gelar Rangga Pujangga Anom, atau lazimnya disebut dengan
Rangga Panjanganom.
Bersamaan dengan itu, Mas Rangga Panjanganom melaksanakan pernikahan dengan
Raden Ajeng Gombak dan diambil anak angkat oleh Gusti panembahan Buminata.
Perkawinan dilaksanakan di Buminata. Saat itu usia Bagus Burham 21 tahun.
Setelah selapan (35 hari) perkawinan, keduanya berkunjung ke Kediri, dalam hal
ini Ki Tanudjaja ikut serta. Setelah berbakti kepada mertua, kemudianBagus
Burham mohon untuk berguru ke Bali yang sebelumnya ke Surabaya. Demikian juga
berguru kepada Kyai Tunggulwulung di Ngadiluwih, Kyai Ajar Wirakanta di
Ragajambi dan Kyai Ajar Sidalaku di Tabanan-Bali. Dalam kesempatan berharga
itu, beliau berhasil membawa pulang beberapa catatan peringatan perjalanan dan
kumpulan kropak-kropak serta peninggalan lama dari Bali dan Kediri ke
Surakarta.
Sekembali dari berguru, ia tinggal di Surakarta melaksanakan tugas sebagai
abdi dalem keraton. Kemudian ia dianugerahi pangkat Mantri Carik dengan gelar
Mas ngabehi Sarataka, pada tahun 1822. Ketika terjadi perang Diponegoro
(th.1825-1830), yaitu ketika jaman Sri Paduka PB VI, ia diangkat menjadi
pegawai keraton sebagai Penewu Carik Kadipaten Anom dengan gelar Raden Ngabehi
Ranggawarsita, yang selanjutnya bertempat tinggal di Pasar Kliwon. Dalam
kesempatan itu, banyak sekali siswa-siswanya yang terdiri orang-orang asing,
seperti C.F Winter, Jonas Portier, CH Dowing, Jansen dan lainnya. Dengan
CF.Winter, Ranggawarsita membantu menyusun kitab Paramasastra Jawa dengan judul
Paramasastra Jawi. Dengan Jonas Portier ia membantu penerbitan majalah
Bramartani, dalam kedudukannya sebagai redaktur.Majalah ini pada jaman PB VIII
dirubah namanya menjadi Juru Martani. Namun pada jaman PB IX kembali dirubah
menjadi Bramartani.
Setelah neneknya RT. Sastranegara
wafat pada tanggal 21 April 1844,
R.Ng. Ranggawarsita diangkat menjadi Kaliwon Kadipaten Anom dan menduduki
jabatan sebagai Pujangga keraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1845. Pada tahun ini juga,
Ranggawarsita menikah lagi dengan putri RMP. Jayengmarjasa.
Misteri Kematian
Patung Rangga Warsita di depan museum Radya Pustaka, Surakarta
Ranggawarsita wafat pada tahun 1873 bulan Desember hari Rabu pon tanggal
24.meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, pada umur 71 tahun.
Pakubuwana IX naik takhta sejak tahun 1861. Ia adalah putra Pakubuwana VI
yang dibuang ke Ambon tahun 1830 karena mendukung Pangeran Diponegoro. Konon,
sebelum menangkap Pakubuwana VI, pihak Belanda lebih dulu menangkap juru tulis
keraton, yaitu Mas Pajangswara untuk dimintai kesaksian. Meskipun disiksa
sampai tewas, Pajangswara tetap diam tidak mau membocorkan hubungan Pakubuwana
VI dengan Pangeran Dipanegara.
Meskipun demikian, Belanda tetap saja membuang Pakubuwana VI dengan alasan
bahwa Pajangswara telah membocorkan semuanya. Fitnah inilah yang menyebabkan
Pakubuwana IX kurang menyukai Ranggawarsita, yang tidak lain adalah putra
Pajangswara.
Hubungan Ranggawarsita dengan Belanda juga kurang baik. Meskipun ia
memiliki sahabat dan murid seorang Indo bernama C.F. Winter, Sr., tetap saja
gerak-geriknya diawasi Belanda. Ranggawarsita dianggap sebagai jurnalis
berbahaya yang tulisan-tulisannya dapat membangkitkan semangat juang kaum
pribumi. Karena suasana kerja yang semakin tegang, akibatnya Ranggawarsita pun
keluar dari jabatan redaksi surat kabar Bramartani tahun 1870.
Ranggawarsita meninggal dunia
secara misterius tanggal 24 Desember 1873. Anehnya, tanggal kematian tersebut
justru terdapat dalam karya terakhirnya, yaitu Serat Sabdajati yang ia tulis
sendiri. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Ranggawarsita meninggal karena
dihukum mati, sehingga ia bisa mengetahui dengan persis kapan hari kematiannya.
Penulis yang berpendapat demikian adalah Suripan Sadi Hutomo (1979) dan
Andjar Any (1979). Pendapat tersebut mendapat bantahan dari pihak elit keraton
Kasunanan Surakarta yang berpendapat kalau Ranggawarsita adalah peramal ulung
sehingga tidak aneh kalau ia dapat meramal hari kematiannya sendiri.
Ranggawarsita dimakamkan di Desa Palar, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten.
Makamnya pernah dikunjungi dua presiden Indonesia, yaitu Soekarno dan Gus Dur
pada masa mereka menjabat.
Puncak Kejayaan Karier
Bagus Burhan diangkat sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom bergelar Raden
Ngabei Ronggowarsito, menggantikan ayahnya yang meninggal di penjara Belanda
tahun 1830. Lalu setelah kematian Yasadipura II, Ranggawarsita diangkat sebagai
pujangga Kasunanan Surakarta oleh Pakubuwana VII pada tanggal 14 September
1845.
Pada masa inilah Ranggawarsita melahirkan banyak karya sastra. Hubungannya
dengan Pakubuwana VII juga sangat harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal
ulung dengan berbagai macam ilmu kesaktian.
Naskah-naskah babad cenderung bersifat simbolis dalam menggambarkan
keistimewaan Ranggawarsita. Misalnya, ia dikisahkan mengerti bahasa binatang.
Ini merupakan simbol bahwa, Ranggawarsita peka terhadap keluh kesah rakyat
kecil.
Karya Sastra
Karya sastra tulisan Ranggawarsita antara lain:
· Bambang Dwihastha : cariyos
Ringgit Purwa
· Bausastra Kawi atau Kamus Kawi – Jawa, beserta C.F. Winter sr.
Ramalan tentang Kemerdekaan
Indonesia
Ranggawarsita hidup pada masa penjajahan Belanda. Ia menyaksikan sendiri
bagaimana penderitaan rakyat Jawa, terutama ketika program Tanam Paksa
dijalankan pasca Perang Diponegoro. Dalam suasana serba memprihatinkan itu,
Ranggawarsita meramalkan datangnya kemerdekaan, yaitu kelak pada tahun Wiku
Sapta Ngesthi Janma.
Kalimat yang terdiri atas empat kata tersebut terdapat dalam Serat Jaka
Lodang, dan merupakan kalimat Suryasengkala yang jika ditafsirkan akan
diperoleh angka 7-7-8-1. Pembacaan Suryasengkala adalah dibalik dari belakang
ke depan, yaitu 1877 Saka, yang bertepatan dengan 1945 Masehi, yaitu tahun
kemerdekan Republik Indonesia.
Pengalaman pribadi Presiden Soekarno pada masa penjajahan adalah ketika
berjumpa dengan para petani miskin yang tetap bersemangat di dalam penderitaan,
karena mereka yakin pada kebenaran ramalan Ranggawarsita tentang datangnya
kemerdekaan di kemudian hari.
sumber:
http;//id.wikipedia.org/wiki/rangga_warsita#asal-usul
Tidak ada komentar:
Posting Komentar